HUKUM BEKAM

HUKUM MENGAMBIL UPAH BEKAM, BOLEH ATAU TIDAK?

Hukum mengambil upah bekam merupakan masalah yang tidak asing lagi. Pertanyaan ini sering dilontarkan oleh para Hajjam (pembekam) dikarenakan kekhawatiran mereka dengan uang yang mereka dapatkan, apakah halal ataukah haram. Tentu hal ini merupakan permasalahan yang besar. Mengawali permasalahan ini perlu diketahui bahwasanya mengambil upah bekam merupakan permasalahan muamalah duniawiah. Dan hukum asal sesuatu -bukan ibadah- adalah halal, sampai datang dalil yang memalingkan hukum tersebut. Beda dengan hukum ibadah. Di mana hukum asal dalam ibadah adalah dilarang, sampai datang dalil yang memerintahkannya. Sedikit saya paparkan salah satu Kaidah Fiqh dalam Islam agar kita mempunyai dasar dalam memecahkan permasalahan ini. Kembali ke tema utama kita. Sekarang mari kita mencerna secara seksama dalil-dalil yang berkaitan dengan hukum mengambil upah bekam. Sekarang kita Tanya kepada diri kita, mana dalil yang harus pertama kali kita cari? Perintahkah atau larangankah? Ya, benar sekali, jawabannya adalah mencari dalil yang melarang perbuatan tersebut. Mengapa? Saya ulangi lagi karena mengambil upah bekam merupakan muamalah duniawiah maka hukum asalnya adalah mubah hingga datang dalil yang melarangnya. Adakah dalil yang melarang mengambil upah bekam? Ternyata kita dapatkan ada hadits yang melarangnya.


HADITS-HADITS LARANGAN
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ عَنْ كَسْبِ الْحَجّامِ، وَكَسْبِ الْبَغِيّ، وَثَمَنِ الْكَلْبِ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam melarang dari upah tukang bekam, upah dari pezina dan upah dari jual beli anjing.”  (HR. Ahmad 2/299 no. 7976 (cet. Ar-Risalah),  Shohih  Lihat Nailul Author Tahqiq Subhi Hasan Hallaq 10/421)


عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ عَنْ كَسْبِ الْحَجّامِ

Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang mencari rizki/upah melalui profesi praktek/tukang bekam”   [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 2165.  Shohih   Lihat Shohihul Jami’ no. 6976].


عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ، أَنَّ رَسُولَ اللّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ: كَسْبُ الْحَجّامِ خَبِيثٌ، وَثَمَنُ الْكَلْبِ خَبِيثٌ، وَمَهْرُ الْبَغِيّ خَبِيثٌ

Dari Raafi’ bin Khudaij radhiallaahu ‘anhu, : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “upah tukang bekam adalah buruk/kotor/keji, hasil jual beli anjing adalah buruk/kotor/keji, dan mahar (upah) pezina adalah buruk/kotor/keji”. (HR. Ahmad di al-Musnad 3/464, Abu Dawud no. 3421, At-Tirmidzi no. 1275, An-Nasa-i no. 4294, Ibnu Hibban dalam Shohihnya no. 5152,  Shohih   Dishohihkan oleh Syaikh Albani dalam kitab at-Ta’liqatul Hisan ala Shohih Ibni Hibban no. 5130)
___________________________
Dari hadits-hadits di atas terbayangkan di pikiran kita bahwa mengambil upah bekam tidak diperbolehkan, haram dan lain sebagainya. Namun apakah benar demikian? Mari kita cermati hadits berikut.


HADITS-HADITS PEMBOLEHAN
 عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ احْتَجَمَ وَأَعْطَى الْحَجَّامَ أَجْرَهُ

Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wassalam pernah berbekam dan memberikan kepada tukang bekam upahnya. (HR. Ibnu Majah no. 2164.  Shohih  Lihat Shohih Ibni Majah no. 2164, Mukhtashor Samail Muhammadiyah no. 309)

أَنّ النّبي صَلّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ دَعَا حَجَّامًا فَحَجَمَهُ وَسَأَلَهُ: كَمْ خَرَاجُكَ؟ فَقَالَ: ثَلَاثَةُ آصُعٍ. فَوَضَعَ عَنْهُ صَاعًا وَأَعْطَاهُ أَجْرَهُ

“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengundang Abu Thoyiba (tukang bekam), lalu ia membekam beliau. Setelah selesai, Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya : “Berapa pajakmu ?”. Ia menjawab : “Tiga sha’”. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membatalkan satu sha’ (dari setoran yang harus dibayarkan kepada majikannya karena sang majikan mensyaratkan pajak/setoran dari jasanya), kemudian memberikan upahnya.” (Shohih   Imam At-Tirmidzi dalam Mukhtashar Asy-Syamaail Al-Muhammadiyyah, hal. 188 no. 312)

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ أَجْرِ الحَجَّامِ، فَقَالَ: احْتَجَمَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ، حَجَمَهُ أَبُو طَيْبَةَ، وَأَعْطَاهُ صَاعَيْنِ مِنْ طَعَامٍ، وَكَلَّمَ مَوَالِيَهُ فَخَفَّفُوا عَنْهُ، وَقَالَ: «إِنَّ أَمْثَلَ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الحِجَامَةُ، وَالقُسْطُ البَحْرِيُّ»

“Dari Shahabat Anas bin Malik radhiallahu’anhu, bahwasannya beliau pernah ditanya tentang upah tukang bekam, maka beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam telah berbekam pembekamnya adalah Abu Thayiba, lalu setelah itu Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam memberikan kepadanya dua sho’ dari makanan, dan beliau shallallahu’alaihi wassalam berdialog dengan majikannya Abu Thoyiba agar diringankan pajak/setoran wajibnya (yang dibebankan sang Majikan kepada Abu Thoyiba setiap harinya), Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi wassallam bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kalian berobat dengannya yaitu berbekam/hijamah dan qusthul bahri (akar kering seperti pasak bumi bentuknya dan pahit rasanya dapat dibuat serbuk dan bermanfaat untuk sakit tenggorokan, panas, paru-paru dan yang lainnya.)” (HR. Al-Bukhori no. 5696 dan Muslim no. 1577 (62)  Shohih  )
*******
Kalau kita melihat dari keseluruhan hadits di atas terdapat pertentangan antara larangan dan dibolehkan.  Ya, memang secara dzohir terdapat pertentangan. Namun apakah betul hadits ini bertentangan? Mari kita coba kompromikan pertenangan dzohir ini. Karena dalam kaidah, ketika kita mendapatkan dua dalil atau lebih yang bertentangan, maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah mengkompromikannya.
  1. Mengambil upah bekam adalah boleh. Hal ini senada dengan pendapatnya Ibnu Abbas.
 عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: « احْتَجَمَ النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَأَعْطَى الَّذِي حَجَمَهُ » وَلَوْ كَانَ حَرَامًا لَمْ يُعْطِهِ

“Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma pernah berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan upah kepada pembekamnya. Seandainya upah bekam itu haram, niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memberinya (HR. al-Bukhori no. 2103, Shohih  )
Imam An-Nawawi juga bependapat yang sama tatkala beliau memberikan judul bab terhadap hadits Anas riwayat Muslim di atas: Bab Halalnya Upah Bekam. Dan ini juga yang difatwakan oleh Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin -rahimahullah- dalam beberapa fatwa beliau.
  1. Lantas bagaimana dengan hadits-hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam yang menyatakan tentang dilarangnya mengambil upah bekam? Maka dalil larangan tersebut hanya sampai kepada hokum makruh. Imam Taqiyuddin An Nabhani berpendapat bahwa hadits “penghasilan pembekam itu buruk (khabits)” tidak menunjukkan keharaman melainkan kemakruhan. Karena ada dalil bahwa Nabi SAW menamakan bawang putih (tsaum) dan bawang merah (bashal) sebagai sesuatu yang buruk (khabits), padahal kedua benda itu hukumnya boleh. (HR Muslim, dari Ma’dan bin Abi Thalhah). Sejalan dengan ini, Imam Syaukani menyatakan penghasilan pembekam itu makruh, karena dalil yang melarang dapat dikompromikan dengan dalil yang membolehkan, seperti tindakan Nabi SAW memberikan upah bekam kepada pembekamnya. (Imam Syaukani,Nailul Authar, hlm. 1126).
  1. Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin –rahimahullah dalam kitabnya Mandzumah Ushul Fiqh wa Qowa’iduhu berkata (Yang makruh ketika dibutuhkan) maka kebutuhan tersebut menghalalkan yang makruh, dan beliau membedakan antara “Kebutuhan” dan “darurat”. Karena kebutuhan lebih rendah dari darurat.
Beliaupun memberikan contoh dalam permasalahan ini. Seseorang membutuhkan dua pakaian untuk melindungi dirinya dari rasa dingin. Akan tetapi jika ia mencukupkan diri dengan satu pakaian saja sebenarnya tidak memadhorotkannya sama sekali. Maka dalam keadaan ini baju yang kedua merupakan kebutuhan, bukan darurat.

Sebagaimana memakan bawang hukum asalnya adalah makruh. Ketika ia memakannya, maka pelakunya tidak berdosa. Terlebih lagi ketika ia memang membutuhkannya, maka secara mutlak hukumnya adalah mubah.
  1. Sekarang mari kita lihat kondisi berikut ini. Ada pembekam saat ini mencurahkan semua waktunya dalam pekerjaan ini. Hingga tidak ada waktu sama sekali bagi dia untuk bekerja yang lain, karena saking sibuknya ia dengan bekam. Terlebih lagi dia memiliki karyawan, di mana ada kewajiban bagi dia untuk menggaji mereka setiap bulannya. Maka dalam hal ini jelas mengambil upah bekam diperbolehkan. Wallahu a’lam Bishshowaab…
Terakhir, Semoga kita diberikan oleh Allah kemudahan untuk menitii jalan-NYa, dan terhindar dari murka-Nya, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Aamiin…..